Dukungan kepada Israel, Reza Pahlavi Kehilangan Simpati Rakyat Iran

Konferensi Pers di Tengah Ketegangan

https://frenchysymphony.com/ TEHERAN – Beberapa jam sebelum gencatan senjata antara Israel dan Iran pada 24 Juni, Reza Pahlavi—putra dari Shah terakhir Iran—menggelar konferensi pers di Paris. Pria berusia 64 tahun yang hidup dalam pengasingan ini mengajak rakyat Iran untuk bangkit melawan pemerintah dan menyebut perang ini sebagai “momen Tembok Berlin kita”.

Namun seruannya tidak mendapat tanggapan. Alih-alih turun ke jalan, sebagian besar rakyat Iran—termasuk oposisi—malah menyatukan barisan di tengah serangan asing. Dukungan Pahlavi pun semakin goyah.

Kritik Karena Tidak Kecam Israel

Reza Pahlavi mendapat kecaman karena tidak mengutuk serangan Israel yang menewaskan lebih dari 935 warga Iran, banyak di antaranya adalah warga sipil. Trita Parsi, pakar hubungan internasional, menyebut bahwa tindakan Pahlavi justru merusak citranya sendiri. “Dia membela Israel, bahkan saat warga sipil Iran tewas,” ujarnya.

Simbolisme dan Dukungan di Diaspora

Pahlavi masih memiliki pendukung, terutama di komunitas diaspora. Yasmine, warga Inggris-Iran, mengatakan keluarganya mendukung Pahlavi lebih karena nostalgia masa lalu ketimbang visi politiknya. “Dia melambangkan era sekuler pra-revolusi,” ujarnya.

Namun demikian, generasi muda mulai mempertanyakan relevansinya. Banyak yang melihat Pahlavi tidak punya arah politik yang jelas dan hanya mengandalkan nama keluarganya.

Sejarah Gelap Dinasti Pahlavi

Dinasti Pahlavi tidak memiliki akar yang panjang. Reza Khan, kakek Reza Pahlavi, mengambil alih kekuasaan pada 1920-an. Pemerintahannya dan rezim anaknya dikenal represif. Amnesty International pernah melaporkan praktik penyiksaan oleh badan intelijen SAVAK.

Ketimpangan ekonomi dan gaya hidup mewah Shah menjadi pemicu revolusi 1979. Saat itu, Reza Pahlavi masih remaja dan berada di Amerika untuk pelatihan militer.

Koalisi Oposisi yang Gagal

Pada 2023, Pahlavi bergabung dengan tokoh-tokoh oposisi dalam “Aliansi untuk Demokrasi dan Kebebasan di Iran”. Namun, koalisi ini cepat bubar. Pahlavi menolak keputusan bersama dan ingin memimpin gerakan secara sepihak, sehingga ditinggalkan oleh tokoh lain seperti Shirin Ebadi dan Nazanin Boniadi.

Kunjungan ke Israel yang Kontroversial

Pahlavi mengunjungi Israel pada 2023, bertemu PM Benjamin Netanyahu, dan berdoa di Tembok Barat—tanpa mengunjungi Masjid Al-Aqsa. Hal ini memperkuat persepsi bahwa ia dekat dengan Israel dan abai terhadap sensitivitas umat Islam Iran.

Dia juga dikabarkan dekat dengan tokoh-tokoh neokonservatif Amerika dan mendukung kebijakan “tekanan maksimum” era Trump yang memperburuk ekonomi Iran.

Dipertanyakan dan Dimanfaatkan

Barbara Slavin, analis di Washington DC, menyebut Pahlavi tidak lagi memahami situasi dalam negeri Iran. “Dia tidak mengutuk pemboman warga sipil, dan itu membuat banyak orang muak,” ujarnya.

Parsi menambahkan bahwa Israel hanya memanfaatkan Pahlavi untuk memberikan legitimasi terhadap agresi militer mereka terhadap Iran. “Mereka menunjuk Pahlavi sebagai bukti bahwa orang Iran mendukung serangan. Tapi kenyataannya tidak demikian,” katanya.

Penutup: Sosok yang Kian Terasing

Reza Pahlavi, yang dulunya menjadi simbol harapan sebagian kecil diaspora, kini semakin kehilangan relevansi di mata rakyat Iran. Ia dinilai gagal membangun jembatan dengan masyarakat dalam negeri, tidak peka terhadap penderitaan rakyat, dan terlalu dekat dengan kekuatan asing.

“Dia ingin rakyat Iran bangkit agar dia bisa masuk mengambil alih. Tapi pada dasarnya, dia meminta rakyat melakukan pekerjaan kotornya,” pungkas Yasmine.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *